Seorang PSK belia yang menukar harga dirinya dengan bekerja sebagai PSK
Prostitusi bagaimanapun sampai sekarang
masih sangat abu-abu untuk dikategorikan. Bagaimana tidak, memang tidak ada seorangpun
dari sudut pandang wanita yang mau untuk menjalankan pekerjaan itu jika ditanya
dari hati kehati. Tapi tidak dapat disalahkan dari satu sudut pandang saja
karena mereka mempunyai alasan masing-masing hingga akhirnya terjun ke dunia
dan pekerjaan yang dikategorikan kotor dan tidak layak ini. Patut disyukuri
oleh seluruh PSK tinggal di negara Indonesia yang hukum dan keadilannya masih
tidak terlalu keras dan kejam, bagaimana kalau tinggal di negara yang mayoritas
warganya beragama Islam? Malaysia atau Pakistan misalnya. Bagimana kita dari
sesama wanita menyikapi hal ini?
Prostitusi atau lebih luasnya masalah
perkawinan dini ini cakupannya sangat luas. Hal ini sudah sangat ditentang
dengan sangat kerasnya oleh tokoh wanita yang filmnya baru ditayangkan dan
dianggap cukup sukses di kancah perfilman Indonesia. Kalau boleh penulis
mengupas sedikit tokoh yang sangat berpengaruh pentingngya pendidikan bagi
wanita di mana tujuannya agar wanita Indonesia tidak dipandang rendah dan kawin
di usia muda juga digeser sedikit demi sedikit. Tokoh yang satu ini tentunya
sangat tidak asing di telinga wanita Indonesia yaitu Kartini. Sepertinya tidak ada yang tidak mengenal
tokoh Kartini? Kartini mengatakan dengan tegasnya bahwa panggil saja aku dengan
Kartini tanpa embel-embel Raden Ajeng di depan namanya. Dimana kehidupannya
sendiri meski seorang Raden Ajeng akan tetapi jauh dari kehidupan normal dan
sewajarnya rakyat normal pada umumnya. Maka dari itu Kartini menentang keras
namanya dipanggil dengan Raden Ajeng. Dia sangat senang jika orang hanya
memanggilnya dengan Kartini. Memang Kartini tidak secara langsung membela
kaumnya dalam segi prostitusi, tetapi paling tidak Kartini membela kaumnya
sendiri agar tidak ikut terjerumus ke dalam persoalan kawin muda dan tidak
mempunyai kemampuan apa-apa selain dijadikan budak oleh lawan jenisnya. Meskipun
pada akhirnya seorang Raden Ajeng Kartini pun akhirnya tidak bisa membela dan
mendapatkan keadilan dan kedamaian di dalam diri dan raganya sendiri. Ia hanya
bisa mempertaruhkannya sampai batas yang ia bisa berikan. Bahwa kalaupun dia
menikah dengan laki-laki yang ia tidak cintai, calon suaminya paling tidak
harus memberikan dukungan untuk mau membuka sekolah bagi kaum perempuan. Maksud
dari Kartini ini tak lain dan tak bukan agar kaum wanita juga disejajarkan
haknya dengan kaum laki-laki. Bagaimana dengan kita semuanya? Apakah kita mau
mengikuti jejak dari Kartini atau pasrah di dalam keadaan terdesak kita karena
masalah finansial semata? Semoga pastinya kita masih bisa memperjuangkan hak
kita sebagai kaum wanita.
Kembali
ke masalah utamanya yaitu menjadi seorang pekerja prostitusi tentunya tidak
akan ada yang mau jika dikaitkan dengan hati nuraninya untuk menjalankannya.
Itu hanya sebuah keputusan yang harus ia buat dan lakukan dengan hati nurani
yang tidak sehat demi mencukupi kebutuhan finansial untuk kebutuhan
sehari-hari. Entah wanita itu adalah tulang punggung keluarga atau karena
memang tidak dinafkahi sebagaimana harusnya oleh sang suami. Tidak ada yang
berusaha untuk menghakimi dalam hal ini. Hanya berusaha memberikan nasehat
terbaik bahwa masih banyak pekerjaan layak lainnya yang dapat dilakukan oleh
seorang wanita. Sekalipun seorang wanita tidak mempunyai sertifikat sebagai
lulusan SMP atau SMA, masih banyak pekerjaan yang tersedia meski sedikit lebih
berat karena pekerjaanya dituntut 12 jam, misalnya seorang Cleaning service
yang harus stand bye di mall; tukang parkir dan lain sebagainya. Setidaknya
wanita-wanita tersebut masih berkesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak dan
dipandang oleh masyarakat dengan baik. Dengan memanfaatkan penghasilan
tersebut, wanita-wanita ini dapat melanjutkan pendidikan mereka kembali
misalnya dengan kursus atapun keterampilan lain. Berdiri di gender yang sama,
akan jauh lebih baik jika kita membantu wanita-wanita yang sudah terjerumus ke
dalam dunia yang tidak sehat ini. Karena pastinya kejiawan mereka sedikit
banyak akan terganggu dan lama-lama mereka akan terserang penyakit kegilaan dan
stress yang berkepanjangan atau mungkin bisa sampai depresi. Masih banyak wadah
untuk menampung orang-orang yang terjeremus ke dalam hal ini.
Saya
akan mencoba mengambil satu kisah pilu seorang PSK yang tentunya namanya akan
disamarkan. Menjadi seorang pekerja prostitusi pasti akan dihadapkan pada
gonjang ganjing. Entah dari pihak keluarga, saudara bahkan teman-temannya. Ada
banyak kisah yang akan disimpan rapat-rapat. Katakanlah PSK ini berasal dari
kota Jawa Tengah; Semarang di Sunan Kuning. Inilah kisah sesungguhnya dari
seorang PSK. Gadis belia yang satu ini masih tergolong belia yaitu 16 tahun. Ia
mulai bekerja sebagai seorang PSK ketika usianya masih menginjak 16 tahun yaitu
lulus sekolah menengah pertama (SMP). Katakanlah nama gadis belia ini adalah
Rani. Ia harus dengan rela hati bekerja sebagai seorang PSK karena tuntunan
keluarganya. Ia harus menghidupi empat anggota keluarganya. Hal ini tentu
tidaklah mudah bagi Rani, tetapi sepertinya ia sama sekali tidak mempunyai
pilihan yang lainnya. Diakuinya memang pekerjaan sebagai seorang PSK memanglah
menggiurkan bagi dirinya.
Bermodal hanya memuaskan hawa nafsu dari
lawan jenisnya, ia akan mendapatkan uang banyak dengan mudahnya. Mudah
kelihatannya ketika kita mendengarnya dengan sekilas. Apakah harga diri dari
seorang wanita cukup jika diukur dengan uang? Uang uang dan uang yang ada di
kepala Rani saat itu. Benarkah tidak ada pilihan hidup lain bagi seorang Rani?
Terlihat mudah memang, bekerja 8 jam sehari dan berhasil mengantongi uang
sebesar Rp 800.000. Bersih! Lalu berapakah kira-kira pendapatan yang Rani
kantongi selama 1 bulan demi untuk menghidupi 4 anggota keluarganya. Rani
mengatakan dengan gamblangnya uang yang di dapatnya dalam waktu 1 bulan adalah
Rp 21 juta. Sepertinya sangat mudah bagi Rani tidak usah kita membanting tulang
bak pekerja kuli di kantoran yang hanya bisa mendapatkan iuran kita sebutnya
atau UMR Rp 3.5 juta.. Tetapi Rani yang seorang pekerja seks komersil sudah
bisa mendapatkankan uang sebesar 32 juta rupiah. Menggiurkan sekali pastinya
ya. Tetapi akankah untuk selamanya Rani akan dipekerjakan sebagai seorang
pekerja seks komersil? Tentu tidak bukan?
Di dalam hati nurani Rani tentu ada
penolakan tersendiri yang sangat menyayat hatinya. Apakah Rani mengetahui
adanya resiko atau efek samping dengan bergonta-ganti pasangan di tiap hari? Hubungan
seks adalah salah satu alasan terbanyak di balik penyakit HIV/AIDS yang
diderita seseorang. Rani tentunya sadar betul resiko yang sangat membahayakan
dirinya sendiri, namun, nasi telah menjadi bubur. Satu-satunya hal yang dapat
dilakukannya adalah untuk tidak lagi melakukan hal yang sama. Sebagai sesama
wanita, akankah kita tetap berdiam? Nuraninya berkata bahwa tiap hari ia harus
merelakan diri untuk tidur dengan berbagai jenis laki-laki. Rani pun tidak
mengetahui pastinya laki-laki ini berasal dari mana. Akan tetapi
hanya satu yang ada di pikiran Rani bahwa laki-laki itu harus menyukai Rani meski
hanya dari luarnya saja.
Rani harus berusaha merayu sampai
laki-laki itu terbuai dan mau tidur seranjang dengannya. Sekilas yang boleh
penulis rangkumkan di sini adalah apakah Rani sudah berdiskusi dahulu dengan
orang tuanya? Diketahui bahwa Rani hanya mempunyai seorang bapak yang kerjanya
serabutan, tidak dijelaskan dengan detail apakah Rani masih mempunyai seorang
ibu. Dan dua orang anggota keluarga lain dari Rani itu siapa? Jika mau
dikatakan dengan gamblang Rani pun tentunya merasakan kejenuhan yang mendalam
dalam dunia yang kelam ini. Karena tidak ada yang lain pekerjaan yang harus
dilakukannya dari hari ke hari hanya berkutat di dunia esek-esek. Apakah
ayahnya setuju Rani masuk ke dalam dunia yang kelam ini? Ranipun sekilas
bukanlah orang yang bodoh sama sekali, semata karena dia masih mengenyam
pendidikan sampai tingkat Smp tentunya ia masih mendapatkan pendidikan yang
baik. Apakah dari pihak sekolah tempat dahulu ia mengenyam pendidikan tidak
diberikan pendidikan tentang seks ini terlebih dahulu? Atau tidakkah ada dari
teman-temannya, saudara, guru-guru dan kerabat lainnya yang melihat keganjilan
yang terjadi di dalam diri Rani?
Inilah yang menjadi pertanyaan di dalam
benak sang penulis. Sebaiknya kita sesama wanita jangan diam diri saja
terhadap hal ini. Wanita sampai sekarangpun masih diperdebatkan dalam arti
menjaga diri yang baik, menjaga keperawanan dan berhubungan dengan lawan jenis
yang sewajarnya agar tidak sampai terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Hamil
adalah salah satu persoalan mendasar dari pekerja seks komersil yang kerap
terjadi pula pada banyak wanita di luar sana yang tidak memiliki control pada
dirinya. Meminta pertanggung jawaban pada laki-laki seyogianya adalah hal yang
wajar, namun terkadang ini akan menjadi boomerang pula pada sang wanita. Meminta pertanggung jawaban pada laki-laki tak
jarang berujung pada kematian salah satu pihak, entah itu wanita ataupun janin
yang tengah dikandung. Atau bisa disebut, hal seperti ini sering berujung pada
kasus pembunuhan. Terjadinya kasus ini tak lain karena ketidaksiapan mental
salah satu pihak atas kehadiran janin yang tidak diinginkan. Inilah yang
sebenarnya ingin didengungkan dan disosialisasikan pada wanita-wanita lain di luar
sana yang kemungkinan berpikiran untuk terjun dalam kehidupan PSK ataupun
menjalin hubungan dengan seorang kekasih dan menjalaninya di luar batasan.
Inilah
curahan hati terdalam seorang pekerja seks komersil yang berdomisli di kota
Jawa Tengah yang umurnya masih sangat belia. Cita-cita hidupnya pun tentu masih
sangat panjang. Akan tetapi sepertinya dipatahkan hanya untuk tujuan finansial
yang mutlak harus ia pikul seorang diri. Rani pun bercerita bahwa ia masih
lajang dan belum mempunyai suami. Entah apakah belum ada niatan dari dirinya
untuk kawin dalam waktu dekat. Di umurnya yang sangat belia dia sudah mengenal
dunia yang seharusnya ia hindari dengan beralih pada berbagai pilihan pekerjaan
yang sangat lebar dari pada pekerjaan yang bukan dikategorikan sebagai sebuah
pekerjaan yang layak dari sudut pandang sang penulis tentunya.
Tidak ada yang kepalang basah bagi seorang
Rani dan rani-rani yang lainnya. Rani pun menyadari bahwa dia sampai detik ini
hanyalah seorang penghibur malam atau kupu-kupu yang hanya bekerja di kala
malam hari. Hati Rani tentunya masih sangat polos dan lugu, kalau ada pelanggan
yang ganteng di dalam hati kecilnya ia pun ingin menjadi kekasih pria tersebut
dan menikahinya. Tetapi sepertinya ia harus menutup semua impiannya itu karena
bagaimanapun ia hanya seorang wanita pekerja seks komersil yang hanya memuaskan
nafsu lawan jenisnya. Tidak lain dan tidak bukan. Apakah masih boleh Rani
berbicara soal cinta sejati dan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius? Masih
adakah pria yang melirik dirinya dan tidak memandang sebelah mata pekerjaan nya
yang kotor itu? Itulah pastinya yang menjadi pertanyaan yang tentunya
berkecamuk di dalam diri Rani.
Masih layakkah dirinya diperhitungakan
menjadi wanita yang baik-baik yang kembali melanjutkan pendidikannya dan
menjadi ibu sebagaimana yang diidam-idamkan? Rani di akhir cerita berpesan
bahwa hanya dirinya seorang diri yang boleh menjadi PSK. Dia pun menghimbau
agar sebaiknya wanita-wanita dan gadis lainnya jangan meniru seperti yang sudah
dia lakukan selama ini yaitu menjadi seorang pekerja seks komersil. Sudah terlalu
banyak pekerja seks yang melalang buana di negara kita tetapi lalu bagaimanakah
sikap dari pemerintah untuk menyikapi permasalahan ini yang sepertinya tidak
kian selesai-selesai meskipun tempat yang paling terkenal dan besar sudah
ditutup secara resmi pun yaitu Dolly yang ada di Surabaya. Masihkah dan
masihkah prostitusi yang ada di Indonesia hanya dianggap sebelah mata dan tidak
ada hokum yang tegas bagi mereka yang terjerumus di dalamnya. Kita menginginkan
diri kita sendiri terbebas dari penyakit yang mematikan. Tetapi sebaliknya
apakah kita sudah berusaha untuk menanggulanginya. Apakah memang prostitusi
untuk pekerjaan yang layak untuk dipekerjakan atau tidak ada pekerjaan yang
layak lainnya bagi kita kaum wanita untuk memilih? Coba kita pikirkan
berkali-kali lagi apabila kita ingin benar-benar mau masuk ke dalam dunia ini. Apakah
hanya karena desakan finansial dimana kita harus bertanggung jawab sebagai
seorang tulang punggung keluarga pun? Apakah hukum-hukum dari agama kita
indahkan begitu saja? Dimana letak harga diri kita sebagai seorang wanita yang
baik-baik? Mari kita renungkan lebih dan lebih jernih dan baik-baik lagi. Kita memang
mungkin mendapatkan banyak uang dengan banyaknya pelanggan kita. Tetapi dampak
terburuknya kita akan tertular penyakit mematikan yang sampai sekarang ini
belum ada obatnya. kita pasti mempunyai teman-teman dan kerabat yang dapat kita mintai saran terbaiknya. Pekerjaan apa yang sedang dibuka. Lapangan pekerjaan sangat merajelela tetapi mengapa kita mengambil jalan pintasnya saja? Inikah keputusan yang kita buat selama ini? Coba kita tengok baik-baik banyak orang yang mempertaruhkan
nyawanya akan tetapi kita dengan mudahnya mengorbankan harga diri kita dengan
menukarnya dengan pekerjaan yang haram ini. Keputusannya ada di tangan kita
semuanya? Mau menanggung resiko terburuknya silahkan jika memang sudah siap? Anda
berdiam diri saja menerima takdir yang ada ataukah mencari pekerjaan yang lebih
baik dan lebih halal? Sudah terpikirkan didalam benak kita masing-masing kah?Semoga mata hati dan pikiran dan nurani sehat kita semakin di bukakan dengan membaca kisah tragis dari seorang Rani yang terjerumus menjadi seorang pekerja seks komersil. Pembaca yang budiman dan staff yang bekerja di LPSK apakah penanggulangan yang akan kita lakukan demi mensosialisasikan dan menghinbau bahwa pekerjaan ini haram yang ada. Nurani kita jangan sampai ada Rani-Rani lainnya yang menjadi korban dari penyakit aids yang mematikan ini. Mari kita sama-sama berusaha untuk memerangi hal ini.
Working From Bali? Check Out These Three Suggestions for Feeling at Ease - Urban workers who work in offices appreciate the remote work system that has been implemented. Indeed, many people follow the work from Bali trend because they believe that working from such a tourist destination will allow them to relax more.
ReplyDelete